Bulan Agustus identik dengan perayaan hari ulang tahun negeri kita tercinta. Tapi seberapa besarkah cinta kita pada negeri ini? Mari kita berkaca pada nara sumber Kick Andy kali ini, sejumlah warna negara keturunan asing yang telah membuktikan kecintaannya pada Indonesia.
Seorang wartawan lepas asal Perancis, Elizabeth D. Inandiak, menginjak tanah Jawa pertama kali pada 1988. Saat itu ia menjadi wartawan lepas dan bertugas menulis tentang islam dan kebatinan. Dimata Elizabeth, Jawa adalah tempat eksotis yang bisa membawanya ke masa kanak-kanak yang indah . Tak heran bila ia jatuh cinta dan hingga tahun 1990 ia memilih bolak-balik antara Yogyakarta dan Paris, lalu kemudian menikah dan memiliki seorang putri.
Kecintaan pada negeri ini, terutama tanah Jawa, semakin kuat, ketika tahun 1991 Elizabeth mengetahui tentang kitab Serat Centhini. Saat itu, ibunya datang ke Indonesia dengan membawa 3 buku dan salah satunya adalah karya Denys Lombard, Le Carrefour Javanais, yang sekilas memuat soal Serat Chentini.
Serat Centhini adalah karya sastra besar dari khazanah kesusastraan Jawa, yang ditulis pada tahun 1742 Jawa atau 1814. Sebagai karya besar, Serat Centhini bisa dikatakan menjadi salah satu kitab yang paling tersembunyi di antara berbagai kitab klasik lainnya. Mungkin karena politik kekuasaan dari keraton, karena kitab ini sesungguhnya berbeda dengan lazimnya kitab-kitab klasik lain. Serat Centhini tidak berisi babad atau cerita tentang kejayaan keraton, tetapi justru kisah pengembaraan kaum pembangkang musuh-musuh keraton.
Elizabeth tertantang untuk mengetahui lebih banyak tentang karya sasrta ini, lalu dengan bantuan seorang ahli sastra jawa kuno, maka ia mulai menterjemahkannya. Dan kini, Serat Chentini sudah ia terbitkan dalam berbagai bahasa, yakni bahasa Indonesia, Perancis, Dan Inggris.
Tak cukup sampai menterjemahkan, Elizabeth juga memperkenalkan karya satra ini ke berbagai negara dengan cara mementaskan Serat Chentini bersama sejumlah seniman Jawa. Tak puas hanya dengan Serat Centhini, ia berencana menulis ulang karya sastrawan Jawa, Ronggowarsito. Elizabeth juga sempat menulis beberapa buku, seperti The White Banyan, Lahirnya Kembali Beringin Putih, pada 1998.
Elizabeth mengaku bahwa Indonesia kini sudah seperti negeranya, “Meski saya tidak lahir di Indonesia, tapi saya melahirkan di Indonesia dan menanam ari-ari putri saya di sini,” ujarnya.
Kecintaan pada Indonesia juga ditujukan oleh seorang pria asal Belanda, Willie Smits. Ia mendapatkan gelar ahli hutan tropis (tropical forestry) dan ahli Ilmu Tanah (soil science) dari Agricultural University of Wageningen, Belanda. Ia mengerjakan tesis doktoral dan risetnya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dan yang dilakukannya sejak tahun 1985 sampai sekarang adalah mengabdi untuk alam di Indonesia. Bahkan selama 20 tahun, ia telah bekerja untuk keselamatan dan kelestarian orang utan yang hampir punah.
Willie Smits menunjukkan kecintaan pada Indonesia dengan perhatiannya yang besar pada kelestarian alam. Ia adalah salah satu pembela orangutan dan habitat alami. Selain itu, ia juga merupakan penemu bidang kehutanan yang menciptakan revolusi pada teknik dan kebijakan reboisasi di seluruh dunia. Sebagai pendiri Borneo Orangutan Survival Foundation, ia secara konsisten bekerja menangani akar masalah penggundulan hutan dengan berfokus pada hubungan antara dunia binatang, planet yang kita tempati, dan manusia. ”Orang utan itu sangat membantu proses regenerasi hutan kita, makanya mereka perlu dilestarikan,” katanya.
Tak heran jika kemudian Willie pernah mendapat penghargaa Satya Lencana Pembangunan Award (1998). Dan Willie adalah orang asing pertama yang menerima penghargaan ini. Tahun 2009 lalu, ia juga pernah mendapat penghargaan Ashoka Fellowship di bidang Lingkungan Hidup.
Willie yang juga di penasihat senior untuk Kementerian Kehutanan ini mengaku sudah mencintai Indonesia melebihi negara kelahirannya, kini sudah 31 tahun ia tinggal dan mengabdi bagi kelestarian alam di negeri ini. “Saya bahkan bisa mengalami culture shock jika kembali menetap di Belanda,” tuturnya.
Tak hanya sebatas urusan orang utan, suami dari Linneke Syennie Watoelangkow ini juga menjadi penggerak sejumlah gerakan sosial berbasis lingkungan, salah satunya adalah mendirikan Masarang Foundation. Sebuah lembaga yang mengumpulkan uang dan menggugah kesadaran masyarakat untuk mengembalikan habitat hutan diseluruh dunia dan memberdayakan masyarakat lokal. Willie juga termasuk orang yang mendesign pusat Primata Scmutzer di Ragunan yang dibuka tahun 2002.
Dari Pulau Lombok, Kick Andy memperkenalkan Gavin Birch atau yang kini lebih dikenal sebagai Husin Abdullah. Laki-laki kelahiran Selandia Baru ini mengganti namanya ketika ia memutuskan menjadi seorang mualaf di tahun 1976. Walau lahir di Selandia Baru, Husin Abdullah tumbuh dan besar di negara Australia. Ia bahkan menempuh pendidikan sekolah Guru di negara tersebut.
Seringnya ia memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Indonesia termasuk wilayah Lombok, yang menurutnya sangat menyenangkan. Husin Abdullah mengenal tanah Lombok sejak tahun 1983, namun baru di tahun 1986 Husin memutuskan untuk menetap di Lombok.
Salah satu alasan mengapa Husin memutuskan untuk menetap di Lombok adalah karena ia merasa prihatin melihat kondisi masyarakat Lombok yang miskin dan hidup dalam lingkungan yang kotor.
Husin juga pernah merasa prihatin dengan perilaku warga sekitar yang tak mengenal kakus. Maka ia sempat menjual rumahnya di Australia dan membangunkan sejumlah kakus di pinggir Pantai Desa Batu Layar. Tapi sayang, kakus itu tidak dirawat dengan baik, hingga sekarang sudah rusak.
Cita-cita untuk membantu membersihkan wilayah L. Ia mulai dengan inisiatif pribadinya. Tak heran jika kita melihat Gavin Birch atau Husin memunguti setiap sampah di tempat-tempat wisata atau di jalan-jalan utama. Kadang ia membawa mobil bak sendiri atau mengangkutnya dengan motor.
Pada perjalanannya, Husin kemudian mengajak masyarakat dan mengajarkan pada mereka cara mengolah sampah yang baik. . “Awalnya saya jalan sendiri atas inisiatif pribadi, kemudian dibantu oleh beberapa teman. Kami mendirikan program ‘Cinta Lingkungan Lombok’. Program tersebut berjalan selama lima belas tahun, dan kemudian di tahun 2000 dibentuklah sebuah yayasan bernama Yayasan Sosial Cinta Lingkungan Lombok-Sumbawa,” katanya.
Selama 24 tahun bergerak dalam urusan sampah tidak membuat laki-laki yang kini berusia 69 tahun ini bosan. Selama itu pula, Husin Abdullah mengaku akan terus berupaya untuk menjadikan Indonesia Bersih dan Hijau, meski jelas-jelas inii bukanlah negaranya.
Sementara itu dari Jakarta, perkenalkan Dan Roberts seorang pemuda asal Texas Amerika Serikat. Dia menjadi guru sirkus dan badut untuk anak-anak miskin di Clincing, Jakarta Utara.
Dan pernah tinggal selama 6 tahun di Jakarta dan sekolah di Jakarta Internasional School (JIS) dari tahun 1994 - 2002. Ketika tinggal di Jakarta, ia sempat melihat kehidupan anak-anak jalanan di Jakarta yang benar-benar miskin.
Pada 2002, setelah menyelesaikan studinya di JIS, Dan kembali ke Chicago, Amerika Serikat, untuk meneruskan kuliah dan mengambil jurusan teater di Roosevelt University’s Chicago College of Performing Arts. Di sinilah dia belajar tentang badut.
Setelah lulus, Dan bekerja untuk berbagai macam circus seperti: Circus Smirkus, Cirque du Soleil’s Cirque du Monde and Chicago’s CircEsteem. Di Chicago, Dan sempat terlibat dalam sejumlah aksi sirkus sebagai badut yang beratraksi juggling.
Aktivitas ini membawanya kepada Moshe Coen, pendiri Clown Without Borders, organisasi internasional beranggotakan badut profesional dengan motto "We send laughter around the world" yang mengadakan pertunjukan sirkus secara gratis kepada mereka yang mengalami musibah di seluruh dunia. Organisasi nirlaba ini berkeliling dunia menghibur anak-anak kurang mampu dengan atraksi badut. Atas saran Coen, Dan yang punya kecintaan akan Indonesia kemudian mendirikan Hidung Merah di Indonesia.
Pada Februari 2008, Dan kembali ke Jakarta bersama kelompok Clown Without Borders. Tak disangka, penampilannya bersama kelompok itu di sebuah rumah berukuran kurang dari 8 meter persegi di daerah Cilincing, mendapat apresiasi luar biasa. "Lebih dari 100 orang dalam ruangan sekecil itu. Dan ini menjadi tontonan menarik karena anak-anak belum pernah lihat," kenang Dan.
Maka Dan memutuskan untuk kembali menetap di Indonesia, khususnya di Jakarta. Kini ia mengajar anak-anak pengupas kulit kerang itu bermain sirkus dan beraktraksi juggling. Tak hanya itu, pemuda berusia 25 tahun itu, bersama yayasan ”Hidung Merah” nya kemudian memberikan pendidikan informal lainnya, seperti kelas bahasa inggris.
Inilah sebuah kisah nyata khusus tentang bagaimana warga –warga asing yang mencintai negeri kita dengan caranya masing-masing. Selamat merenungkan nasib Indonesia.
Nara Sumber: Kick Andy
Kecintaan pada negeri ini, terutama tanah Jawa, semakin kuat, ketika tahun 1991 Elizabeth mengetahui tentang kitab Serat Centhini. Saat itu, ibunya datang ke Indonesia dengan membawa 3 buku dan salah satunya adalah karya Denys Lombard, Le Carrefour Javanais, yang sekilas memuat soal Serat Chentini.
Serat Centhini adalah karya sastra besar dari khazanah kesusastraan Jawa, yang ditulis pada tahun 1742 Jawa atau 1814. Sebagai karya besar, Serat Centhini bisa dikatakan menjadi salah satu kitab yang paling tersembunyi di antara berbagai kitab klasik lainnya. Mungkin karena politik kekuasaan dari keraton, karena kitab ini sesungguhnya berbeda dengan lazimnya kitab-kitab klasik lain. Serat Centhini tidak berisi babad atau cerita tentang kejayaan keraton, tetapi justru kisah pengembaraan kaum pembangkang musuh-musuh keraton.
Elizabeth tertantang untuk mengetahui lebih banyak tentang karya sasrta ini, lalu dengan bantuan seorang ahli sastra jawa kuno, maka ia mulai menterjemahkannya. Dan kini, Serat Chentini sudah ia terbitkan dalam berbagai bahasa, yakni bahasa Indonesia, Perancis, Dan Inggris.
Tak cukup sampai menterjemahkan, Elizabeth juga memperkenalkan karya satra ini ke berbagai negara dengan cara mementaskan Serat Chentini bersama sejumlah seniman Jawa. Tak puas hanya dengan Serat Centhini, ia berencana menulis ulang karya sastrawan Jawa, Ronggowarsito. Elizabeth juga sempat menulis beberapa buku, seperti The White Banyan, Lahirnya Kembali Beringin Putih, pada 1998.
Elizabeth mengaku bahwa Indonesia kini sudah seperti negeranya, “Meski saya tidak lahir di Indonesia, tapi saya melahirkan di Indonesia dan menanam ari-ari putri saya di sini,” ujarnya.
Kecintaan pada Indonesia juga ditujukan oleh seorang pria asal Belanda, Willie Smits. Ia mendapatkan gelar ahli hutan tropis (tropical forestry) dan ahli Ilmu Tanah (soil science) dari Agricultural University of Wageningen, Belanda. Ia mengerjakan tesis doktoral dan risetnya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dan yang dilakukannya sejak tahun 1985 sampai sekarang adalah mengabdi untuk alam di Indonesia. Bahkan selama 20 tahun, ia telah bekerja untuk keselamatan dan kelestarian orang utan yang hampir punah.
Willie Smits menunjukkan kecintaan pada Indonesia dengan perhatiannya yang besar pada kelestarian alam. Ia adalah salah satu pembela orangutan dan habitat alami. Selain itu, ia juga merupakan penemu bidang kehutanan yang menciptakan revolusi pada teknik dan kebijakan reboisasi di seluruh dunia. Sebagai pendiri Borneo Orangutan Survival Foundation, ia secara konsisten bekerja menangani akar masalah penggundulan hutan dengan berfokus pada hubungan antara dunia binatang, planet yang kita tempati, dan manusia. ”Orang utan itu sangat membantu proses regenerasi hutan kita, makanya mereka perlu dilestarikan,” katanya.
Tak heran jika kemudian Willie pernah mendapat penghargaa Satya Lencana Pembangunan Award (1998). Dan Willie adalah orang asing pertama yang menerima penghargaan ini. Tahun 2009 lalu, ia juga pernah mendapat penghargaan Ashoka Fellowship di bidang Lingkungan Hidup.
Willie yang juga di penasihat senior untuk Kementerian Kehutanan ini mengaku sudah mencintai Indonesia melebihi negara kelahirannya, kini sudah 31 tahun ia tinggal dan mengabdi bagi kelestarian alam di negeri ini. “Saya bahkan bisa mengalami culture shock jika kembali menetap di Belanda,” tuturnya.
Tak hanya sebatas urusan orang utan, suami dari Linneke Syennie Watoelangkow ini juga menjadi penggerak sejumlah gerakan sosial berbasis lingkungan, salah satunya adalah mendirikan Masarang Foundation. Sebuah lembaga yang mengumpulkan uang dan menggugah kesadaran masyarakat untuk mengembalikan habitat hutan diseluruh dunia dan memberdayakan masyarakat lokal. Willie juga termasuk orang yang mendesign pusat Primata Scmutzer di Ragunan yang dibuka tahun 2002.
Dari Pulau Lombok, Kick Andy memperkenalkan Gavin Birch atau yang kini lebih dikenal sebagai Husin Abdullah. Laki-laki kelahiran Selandia Baru ini mengganti namanya ketika ia memutuskan menjadi seorang mualaf di tahun 1976. Walau lahir di Selandia Baru, Husin Abdullah tumbuh dan besar di negara Australia. Ia bahkan menempuh pendidikan sekolah Guru di negara tersebut.
Seringnya ia memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Indonesia termasuk wilayah Lombok, yang menurutnya sangat menyenangkan. Husin Abdullah mengenal tanah Lombok sejak tahun 1983, namun baru di tahun 1986 Husin memutuskan untuk menetap di Lombok.
Salah satu alasan mengapa Husin memutuskan untuk menetap di Lombok adalah karena ia merasa prihatin melihat kondisi masyarakat Lombok yang miskin dan hidup dalam lingkungan yang kotor.
Husin juga pernah merasa prihatin dengan perilaku warga sekitar yang tak mengenal kakus. Maka ia sempat menjual rumahnya di Australia dan membangunkan sejumlah kakus di pinggir Pantai Desa Batu Layar. Tapi sayang, kakus itu tidak dirawat dengan baik, hingga sekarang sudah rusak.
Cita-cita untuk membantu membersihkan wilayah L. Ia mulai dengan inisiatif pribadinya. Tak heran jika kita melihat Gavin Birch atau Husin memunguti setiap sampah di tempat-tempat wisata atau di jalan-jalan utama. Kadang ia membawa mobil bak sendiri atau mengangkutnya dengan motor.
Pada perjalanannya, Husin kemudian mengajak masyarakat dan mengajarkan pada mereka cara mengolah sampah yang baik. . “Awalnya saya jalan sendiri atas inisiatif pribadi, kemudian dibantu oleh beberapa teman. Kami mendirikan program ‘Cinta Lingkungan Lombok’. Program tersebut berjalan selama lima belas tahun, dan kemudian di tahun 2000 dibentuklah sebuah yayasan bernama Yayasan Sosial Cinta Lingkungan Lombok-Sumbawa,” katanya.
Selama 24 tahun bergerak dalam urusan sampah tidak membuat laki-laki yang kini berusia 69 tahun ini bosan. Selama itu pula, Husin Abdullah mengaku akan terus berupaya untuk menjadikan Indonesia Bersih dan Hijau, meski jelas-jelas inii bukanlah negaranya.
Sementara itu dari Jakarta, perkenalkan Dan Roberts seorang pemuda asal Texas Amerika Serikat. Dia menjadi guru sirkus dan badut untuk anak-anak miskin di Clincing, Jakarta Utara.
Dan pernah tinggal selama 6 tahun di Jakarta dan sekolah di Jakarta Internasional School (JIS) dari tahun 1994 - 2002. Ketika tinggal di Jakarta, ia sempat melihat kehidupan anak-anak jalanan di Jakarta yang benar-benar miskin.
Pada 2002, setelah menyelesaikan studinya di JIS, Dan kembali ke Chicago, Amerika Serikat, untuk meneruskan kuliah dan mengambil jurusan teater di Roosevelt University’s Chicago College of Performing Arts. Di sinilah dia belajar tentang badut.
Setelah lulus, Dan bekerja untuk berbagai macam circus seperti: Circus Smirkus, Cirque du Soleil’s Cirque du Monde and Chicago’s CircEsteem. Di Chicago, Dan sempat terlibat dalam sejumlah aksi sirkus sebagai badut yang beratraksi juggling.
Aktivitas ini membawanya kepada Moshe Coen, pendiri Clown Without Borders, organisasi internasional beranggotakan badut profesional dengan motto "We send laughter around the world" yang mengadakan pertunjukan sirkus secara gratis kepada mereka yang mengalami musibah di seluruh dunia. Organisasi nirlaba ini berkeliling dunia menghibur anak-anak kurang mampu dengan atraksi badut. Atas saran Coen, Dan yang punya kecintaan akan Indonesia kemudian mendirikan Hidung Merah di Indonesia.
Pada Februari 2008, Dan kembali ke Jakarta bersama kelompok Clown Without Borders. Tak disangka, penampilannya bersama kelompok itu di sebuah rumah berukuran kurang dari 8 meter persegi di daerah Cilincing, mendapat apresiasi luar biasa. "Lebih dari 100 orang dalam ruangan sekecil itu. Dan ini menjadi tontonan menarik karena anak-anak belum pernah lihat," kenang Dan.
Maka Dan memutuskan untuk kembali menetap di Indonesia, khususnya di Jakarta. Kini ia mengajar anak-anak pengupas kulit kerang itu bermain sirkus dan beraktraksi juggling. Tak hanya itu, pemuda berusia 25 tahun itu, bersama yayasan ”Hidung Merah” nya kemudian memberikan pendidikan informal lainnya, seperti kelas bahasa inggris.
Inilah sebuah kisah nyata khusus tentang bagaimana warga –warga asing yang mencintai negeri kita dengan caranya masing-masing. Selamat merenungkan nasib Indonesia.
Nara Sumber: Kick Andy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar